Rabu, 01 Januari 2014

Bentuk Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Mengatur Krama Tamiu



BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang pendatang hadir di Bali, baik untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang  ”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, salah satunya dapat dilihat di Desa Pakraman Penatih. Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman (1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920. Fakta-fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru.
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya telah mengganggu kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan, tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman. Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)

1.2            Rumusan Masalah
·         Bagaimana bentuk awig – awig Desa Pakraman ?
·         Bagaimana Implementasi awig – awig Desa Pakraman ?
·         Bagaimana kendala – kendala Desa Pakraman dalam mengatasi Krama Tamiu ?

1.3            Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk memenuhi syarat dalam mata kuliah Antropologi dan mengetahui implementasi awig-awig Desa Pakraman dalam mengatur karma tamiu.

1.4            Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini untuk mengetahui keadaan , alasan maupun konsekuensi terhadap penduduk pendatang atau karma tamiu di Desa Pakraman Penatih. Keadaan tersebut dapat diketahui melalui  wawancara maupun berdasarkan observasi. Sebab penelitian berperan penting untuk memberikan fondasi atas tindak dan juga keputusan dalam semua aspek.



BAB II


2.1     Kajian Pustaka
Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian ini dimaksudkan untuk memberitahukan bentuk awig-awig, implementasi awig-awig dan kendala atau hambatan Desa Pakraman dalam mengatur Krama Tamiu. Kehidupan bermasyarakat di Bali yang dikenal dalam wadah desa pakraman telah lama eksis karena keterikatan yang kuat antar individu masyarakatnya. Keterikatan tersebut ada berdasarkan keyakinan yang telah tumbuh diantara seluruh warganya untuk saling menghargai satu sama lainnya. Niai dan norma yang ada dan dipegang teguh meski tidak semuanya sifatnya tertulis, tetapi ditaati oleh kesatuan masyarakatnya. Dalam wadah desa pakraman dijalankan fungsi sosial relegius sangat terikat dengan nilai adat dan kebiasaan yang berlaku di desa pakraman tersebut. Nilai-nilai dan kebiasaan tersebut dituang dan dinormakan dalam bentuk awig-awig desa pakraman serta mengikat bagi seluruh krama (warga) desa pakraman. Desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim disebut kerama tamiu atau tamiu. Awig-awig merupakan tata hidup bermasyarakat yang mana ditandai dengan beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap kelompok dimana individu yang bersangkutan menjadi anggotanya. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia senantiasa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga diperlukan adanya norma-norma dan aturanaturan yang menentukan tindakan mana yang boleh dan tindakan mana yang tidak boleh dilakukan.

2.2     Diskripsi Konsep
            2.2.1     Implementasi
Implementasi dimaksudkan membawa ke suatu hasil (akibat) melengakapi dan menyelesaikan. Implementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu, memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesuatu. Pressman dan Wildavsky mengemukakan bahwa : “implimentation as to carry out, accomplish, fullfil, produce, complete” maksudnya: membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi. Jadi Implementasi dapat dimaksudkan sebagai suatu aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.               
Apabila dikaitkan dengan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi skebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan. Pengertian implementasi dikemukakan oleh Solichin Abdul Wahab dalam bukunya Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara yaitu: “Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat-pejabat kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” Implementasi merupakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Tindakan tersebut dilakukan baik oleh individu, pejabat pemerintah ataupun swasta.Dan mengistilahkannya implementasi secara lebih khusus, menyebutnya dengan istilah implementasi kebijakan dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik. Menurutnya implementasi kebijakan (Policy Implementation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu.
Implementasi merupakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Tindakan tersebut dilakukan baik oleh individu, pejabat pemerintah ataupun swasta. Dunn mengistilahkannya implementasi secara lebih khusus, menyebutnya dengan istilah implementasi kebijakan dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik. Menurutnya implementasi kebijakan (Policy Implementation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu.Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengutip pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinelli mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor- faktor tersebut diantaranya:
1.      Kondisi lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosio kultural serta keterlibatan penerima program.
2.      Hubungan antar organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
3.       Sumberdaya organisasi untuk implementasi program
Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources).
4.      Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana
Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
Berdasarkan pendapat dari G. Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinel tersebut terdapat faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan yang diterapkan. Apabila kita ingin mengetahui kebijakan yang diterapkan, kegagalan atau keberhasilannya bisa diukur oleh faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kebijakan dapat melakukan upaya untuk mendorong Pemerintahan Daerah dalam program-program pembangunan dan pelayanan yang sejalan dengan kebijaksanaan nasional.
Khususnya untuk membantu pembiayaannya, Pemerintah Pusat bisa memberi bantuan berbentuk subsidi yaitu transfer dana dari anggaran dan pembukuan pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Alokasi oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah mengandung tujuan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bentuk dan lingkupannya. Pengertian subsidi dikemukakan oleh Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yang dimaksud subsidi adalah semua bantuan financial pemerintah kepada individu, perusahaan, dan organisasi. Maksud dari subsidi adalah untuk memberikan bantuan pembiayaan terhadap berbagai aktivitas.

            2.2.2       Awig-Awig
 Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Atau patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur).
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig. Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana yang harmonis dalam masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala

            2.2.3      Desa Pakraman
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan sebagai berikut: ”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat awig-awig, disamping menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat. Semua itu merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian, landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5 dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai “aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman / banjar pakraman masingmasing”. Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.

            2.2.4      Krama Tamiu
Desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia) yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada keseragaman difinisi. Dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002 lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.      pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga tahun;
2.      pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini, pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”. Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa penduduk Bali dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awigawig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan hak dan kewajibannya saja.

2.3     Landasan Teori
Desa Pakraman menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatn dan sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di wilayah Kecamatan. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Desa Pakraman senantiasa mandiri sebagai wujud dari otonomi, karena tidak ada intervensi dari manapun yang dapat dibenarkan dalam rangka mewujudkan kesejahtraan warganya. Dalam perkembangan lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial kemasyarakatan. Desa Pakraman memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya disebut Prajuru dan dibeberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau paduluan dan berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia (terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).
Demikian pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah Desa Pakraman tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui awig-awig sebagai anggota Desa atau Krama Tamiu dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Pakraman yakni dengan pemeliharaan bersama desa , fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Pakraman untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa Pakraman, terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan

























BAB III
METODE PENELITIAN

3.1     Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study. Sehubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka peneliti mempunyai rencana kerja atau pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya. Jadi yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Digunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif ini berdasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu : Menyesuaikan metode kualitatif lebih muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Metode ini secara langsung menghubungan antara peneliti dengan responden. Metode ini lebih pada menyesuaikan diri dengan penajaman bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Pendekatan Kualitatif
Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru karena popularitasnya belum lama, metode ini dinamakan postpositivistik Karena berlandaskan pada filsafat post positifisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistic, Karena proses penelitian lebih bersifat seni(kurang terpola),dan disebut metode interpretive karena data hasil peneletian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang di temukan di lapangan.metode penelitian kuantitatif dapat di artikan sebagai metode penelitian yang di gunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,pengumpulan data menggunakan instrument penelitian,analisis data bersifat kuantitatif/statistic,dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang teleh di tetapkan. Metode penelitian kualitatif sering di sebut metode penelitian naturalistik karena penelitianya di lakukan pada kondisi yang alamiah(natural setting);di sebut juga metode etnographi,karena pada awalnya metode ini lebih banyak di gunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya;disebut metode kualitatif,karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.

3.2     Data dan Sumber Data
Dalam penelitian, sumber data merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan. Jenis sumber data adalah mengenai dari mana data diperoleh. Apakah data diperoleh dari sumber tidak langsung (data sekunder) atau data diperoleh dari sumber langsung (data primer). Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Kita perlu memilih metode pencarian data sekunder apakah itu akan dilakukan secara manual atau dilakukan secara online. Jika dilakukan secara manual, maka kita harus menentukan strategi pencarian dengan cara menspesifikasi lokasi data yang potensial, yaitu: lokasi internal dan / atau lokasi eksternal. Jika pencarian dilakukan secara online, maka kita perlu menentukan tipe strategi pencarian; kemudian kita memilih layanan-layanan penyedia informasi ataupun database yang cocok dengan masalah yang akan kita teliti. Setelah metode pencarian data sekunder kita tentukan, langkah berikutnya ialah melakukan penyaringan dan pengumpulan data. Penyaringan dilakukan agar kita hanya mendapatkan data sekunder yang sesuai saja, sedang yang tidak sesuai dapat kita abaikan. Setelah proses penyaringan selesai, maka pengumpulan data dapat dilaksanakan. Data yang telah terkumpul perlu kita evaluasi terlebih dahulu, khususnya  berkaitan  dengan kualitas dan kecukupan data. Jika peneliti merasa bahwa kualitas data sudah dirasakan baik dan jumlah data sudah cukup, maka data tersebut dapat kita gunakan untuk menjawab masalah yang akan kita teliti. Tahap terakhir strategi pencarian data ialah menggunakan data tersebut untuk menjawab masalah yang kita teliti. Jika data dapat digunakan untuk menjawab masalah yang sudah dirumuskan, maka tindakan selanjutnya ialah menyelesaikan penelitian tersebut. Jika data tidak dapat digunakan untuk menjawab masalah, maka pencarian data sekunder harus dilakukan lagi dengan strategi yang sama.

3.3     Teknik Pengumpulan Data
            3.3.1      Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung  atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut. Penggunaan teknik observasi langsung memungkinkan bagi peneliti untuk mengumpulkan data mengenai perilaku dan kejadian secara detail. Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan sosial yang sukar untuk diketahui dengan metode lainnya. Observasi dilakukan untuk menjajaki sehingga berfungsi eksploitasi. Dari hasil observasi kita akan memperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjuk-petunjuk tentang cara pemecahannya. Jadi, jelas bahwa tujuan observasi adalah untuk memperoleh berbagai data konkret secara langsung di lapangan atau tempat penelitian. Sedangkan manfaat dari observasi itu adalah peneliti akan mampu memahami konteks data secara menyeluruh, memperoleh pengalaman langsung, dapat melihat hal-hal yang kurang diamati oleh orang lain, dapat menemukan hal-hal yang tidak terungkap saat wawancara, dapat mengungkapkan hal-hal yang ada di luar persepsi responden, dan juga dapat memperoleh kesan-kesan pribadi terhadap obyek yang diteliti.


3.3.2       Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun peneliti terhadap nara sumber atau sumber data.Teknik wawancara ini banyak digunakan dalam penelitian pendidikan karena mempunyai beberapa keunggulan yang mungkin tidak dimiliki oleh instrumen penelitian lainnya. Beberapa keunggulan itu termasuk:
1.         Penelitian memperoleh rerata jawaban yang relatif tinggi dari responden.
2.         Peneliti dapat membantu menjelaskan lebih, jika ternyata responden mengalami kesulitan menjawab yang diakibatkan ketidakjelasan pertanyaan.
3.         Peneliti dapat mengontrol jawaban responden secara lebih teliti dengan mengamati reaksi atau tingkah laku yang diakibatkan oleh pertanyaan dalam proses wawancara.
4.         Peneliti dapat memperoleh informasi yang tidak dapat diungkapkan dengan cara kuesioner ataupun observasi. Informasi tersebut misalnya, jawaban yang sifatnya pribadi dan bukan pendapat kelompok, atau informasi alternatif (grapevine) dari suatu kejadian penting.
Pedoman Wawancara, dilihat dari aspek pedoman (guide) wawancara dalam proses pengambilan data, wawancara dapat dibedakan menjadi tiga macam jenis yaitu terstruktur, bebas, dan kombinasi.Wawancara terstruktur yaitu wawancara di mana peneliti ketika melaksanakan tatap muka dengan responden menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan lebih dahulu. Penggunaan pedoman secara terstruktur ini penting bagi peneliti agar mereka dapat menekankan pada hasil informasi yang telah direncanakan dalam wawancara. Wawancara bebas atau sering pula disebut tak berstruktur, yaitu wawancara di mana peneliti dalam menyampaikan pertanyaan pada responden tidak menggunakan pedoman. Cara ini pada umumnya akan lebih efektif dalam memperoleh informasi yang diinginkan. Dengan wawancara bebas ini, peneliti dapat memodifikasi jalannya wawancara menjadi lebih santai, tidak menakutkan, dan membuat responden ramah dalam memberikan informasi. Dikatakan sebagai wawancara kombinasi di antara kedua jenis di atas, jika peneliti menggabungkan kedua cara di atas dengan tujuan memperoleh informasi yang semaksimal mungkin dari responden.
3.3.3       Dokumentasi
Pada teknik ini, peneliti dimungkinkan memperoleh informasi dari bermacam-macam sumber tertulis atau dokumen yang ada pada responden atau tempat, di mana responden bertempat tinggal atau melakukan kegiatan sehari-harinya. Sumber dokumen yang ada pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumentasi resmi, termasuk surat keputusan, surat instruksi, dan surat bukti kegiatan yang dikeluarkan oleh kantor atau organisasi yang bersangkutan dan sumber dokumentasi tidak resmi yang mungkin berupa surat nota, surat pribadi yang memberikan informasi kuat terhadap suatu kejadian. Di samping itu dalam penelitian pendidikan, dokumentasi yang ada juga dapat dibedakan menjadi dokumen primer, sekunder, dan tersier yang mempunyai nilai keaslian atau autentisitas berbeda-beda. Dokumen primer biasanya mempunyai nilai dan bobot lebih jika dibanding dokumen sekunder. Sebaliknya dokumen sekunder juga mempunyai nilai dan bobot lebih jika dibandingkan dengan dokumen tersier, dan seterusnya. Seorang peneliti sebaiknya memanfaatkan kedua sumber dokumentasi tersebut secara intensif, agar mereka dapat memperoleh informasi secara maksimal, yang dapat menggambarkan kondisi subjek atau objek bentuk, implementasi awig-awig dan kendala-kendala dalam mengatur karma tamiu  yang diteliti dengan benar.

3.4      Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakuakan  sintesa dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Hipotesis dalam penelitian ini, adalah Desa Pakraman Penatih mempunyai bentuk awig-awig tertulis yang mewajibkan anggota Desa Krama dan Krama Tamiu setiap bulannya membayar sangkepan. Berdasarkan hipotesis yang telah peneliti buat, bahwa hipotesis ini dapat diterima berdasarkan data dan fakta yang telah terkumpul. Bahwa didalam suatu awig-awig Desa Pakraman Penatih mempunyai suatu aturan kepada masyarakat desa maupun karma tamiu untuk dapat membayar sangkepan dalam menjaga dan mengamankan lingkungan di Desa Pakraman.

3.5     Penyajian Hasil Analisis
Desa Pakraman di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses mengatur karma tamiu. Sebagai organisasi pemerintahan, desa pakraman merupakan desa otonom asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri dengan segala bentuk awig-awig yang telah dibuat dalam keputusan bersama masyarakat desa dan diberlakukan di dalam palemahan (wilayah)nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan. Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan yang telah menjadi salah satu dari aturan atau awig-awig di Desa Pakraman. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).








BAB IV
BENTUK AWIG-AWIG
DALAM MENGATUR KRAMA TAMIU

Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969, ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan awig-awig penting untuk dilakukan dalam rangka penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya. Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman – terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet (bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya, sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan, sistematika awig-awig desa pakraman menyerupai sistematika UUD 1945. Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan pokok) mengenai kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek  keagamaan atau parhyangan  (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau  palemahan (hubungan kerama desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di atas.  Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda (Masalah dan Sanksi).




























BAB V
IMPLEMENTASI
DALAM MENGATUR KRAMA TAMIU

Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-masing Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah, seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain. Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan sukarela (dana punia), dan sebagainya.
Dalam implementasinya awig-awig sangat penting bagi Krama Tamiu di Desa Pekraman yaitu, dengan adanya penanganan penduduk pendatang mulai dari proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan), bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggung jawab terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir dan bathin)




























BAB VI
KENDALA-KENDALA AWIG-WIG DESA PAKRAMAN
DALAM MENGATUR KRAMA TAMIU

Di Bali, proses globalisasi telah dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal tersebut. salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah ini adalah karena perkembangan pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.
Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari banyaknya penduduk pendatang atau Krama Tamiu dari berbagai daerah yang mempunyai kepentingan masing-masing di Bali dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan  dunia modern. Krama Tamiu yang menetap atau pun hanya sekedar ingin berlibur di Bali umumnya menganut nilai dan norma serta kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional di Desa Pakraman. Krama tamiu tersebut. juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam pergaulan antar sesamapun tampak mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai individual dan komersial. Situasi demikian memberi peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.  Banyak hal yang muncul sebagai sumber konflik dewasa ini antara lain: tanah, status sosial (prestise), jabatan dan peluang kerja.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak. Keefektifan Awig-awig sebagai alat kontrol social, Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan), kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda. Bentuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.




BAB VII

7.1     Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk awig-awig di Desa Pakraman berbeda-beda ada yang tertulis dan ada pula yang tidak. Terlepas dari bentuk awig-awig yang terjadi  secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman (pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut, penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.

7.2     Saran
Adapun hal yang dapat disarankan dari penelitian  ini adalah diupayakan awig-awig di desa pakraman dapat berkelanjutan mengingat banyak hal yang telah berkembang yang selalu memerlukan penanganan serius guna dapat merespon perkembangan situasi yang telah berkembang di desa pakraman.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar