Senin, 02 Desember 2013

Hubungan Ilmu Administrasi Negara dengan Ilmu Politik




Ilmu administrasi negara dengan poltik memiliki keterkaaitan yang sangat erat yang tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Hal ini sesuai dengan salah satu pendapat bahwa administrasi negara / publik adalah anak dari ilmu politik. Pendapat tersebut memandang administrasi publik sebagai pelaksana bagi politik. Keduanya terangkai dalam jalinaninter-koneksi. Satu kebijakan publik yang dirumuskan oleh politik, tidak akan sempurna, kalau tidak memperoleh masukan dari administrasi. Bahkan, dapat dikatakan bahwahanya dengan masukan dari administrasi, politik dapat merumuskan kebijakan. Sebagai contoh keputusan politik untuk menetapkan kenaikan gaji pegawai negeri, kebijakan tersebut diambil setelah pemerintah atau penyelenggara administrasi menyajikan berbagai pertimbangan dan data sebagai dasar pembuatan kebijakan.
Politik dan administrasi negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi politik yakni kekuasaan. Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem polahubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian). Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. Ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan. Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikuts ertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi negara. Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di Indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain. Partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu
menanggalkan prinsip-prinsip kepartaian itu sendiri. Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu. Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh partai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. Selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur  budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi capital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Arah dari pemerintah ketika itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi orientedprofit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang takbermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya. Birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini. Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, public secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka. Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi inglobalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi paraaparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruanglingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya. Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Padadasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kitaialah pada systemnya. Menurut ia “When the processing of politic is finish, thebirokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itutelah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politiknamun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik. Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yangcukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangankenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harusnetral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika adamutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakindekatnya ajang pilkada di tahun 2006 ketika itu. Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisikestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai.
Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negaraada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelasantar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifatkorosif. Jadi, Politik merupakan dimensi penting dalam administrasi Negara. Politik dan Administrasi Negara seumpama dua sisi dari keping mata uang. Politik perumus strategi negara dan administrasi negara implementor strategi tersebut. Politik tanpa administrasi Negara hanya sekedar jargon dan janji- janji, sebaliknya administrasi Negara tanpa politik seperti mobil yang berjalan tanpa arah tujuan. Karena itu, perlu dipahami apa pengertian dan fungsi politik dan administrasi negara, serta perdebatan seputar hubungan administrasi negara dengan politik yang telah menjadi isu klasik dalam ilmu administrasi negara. Pengaruh politik terhadap administrasi negara telah berjalan cukup lama sejak orde lama hingga orde reformasi sekarang ini sehingga menimbulkan terjadinya dikotomi politik-administrasi negara, hal ini menunjukan tingkat spesialisasi dan profesionalisasi para penyelenggaran negara tidak berpihak kepada kepentingan publik, yang seharusnya menjadi tujuan pokok dalam setiap penyelenggaraan sistem administrasi negara dan sistem politik dinegara kita.