Ilmu
administrasi negara dengan poltik memiliki keterkaaitan yang
sangat erat yang tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Hal ini sesuai dengan
salah satu pendapat bahwa administrasi negara / publik adalah anak dari ilmu
politik. Pendapat tersebut memandang administrasi publik sebagai pelaksana bagi
politik. Keduanya terangkai dalam jalinaninter-koneksi. Satu kebijakan publik
yang dirumuskan oleh politik, tidak akan sempurna, kalau tidak memperoleh
masukan dari administrasi. Bahkan, dapat dikatakan bahwahanya dengan masukan
dari administrasi, politik dapat merumuskan kebijakan. Sebagai contoh keputusan
politik untuk menetapkan kenaikan gaji pegawai negeri, kebijakan tersebut
diambil setelah pemerintah atau penyelenggara administrasi menyajikan berbagai
pertimbangan dan data sebagai dasar pembuatan kebijakan.
Politik dan administrasi negara
sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak
administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari
proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan
dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan
yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari
negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal
tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi
politik yakni kekuasaan. Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi
negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem
politik adalah sistem polahubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan
kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik
mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen,
bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan
(kepartaian). Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang
prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu
negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah
dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang
melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan
stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda
kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden
dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan
elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. Ketika pemerintah tidak
mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam
agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut
menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda
kebijakan. Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good
governance yang mengikuts ertakan peran partisipasi politik masyarakat secara
aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap
administrasi negara. Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit
presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem
parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan
kekuatan parlemen yang sangat luas. Di Indonesia ketika itu seperti sekarang
ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai pun yang
menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa
kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain. Partai politk era orde lama
begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri
seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng”
kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno
walaupun itu
menanggalkan prinsip-prinsip kepartaian itu sendiri. Pada
aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi
negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi
kepada partai politik tertentu. Ketika Era orde baru, mulailah diambil
langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah
satunya dengan jalan mengurangi pengaruh partai-partai politik (asas tunggal
maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna
membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara
pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. Selain itu,
diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan
penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan
(kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan
kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya. Pemerintah
orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan
kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya
segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan
kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan
undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan
arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah
bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat
berbeda baik dari segi kultur budaya
maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar
kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi capital yang berlebihan pada sebagian
konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan
lapangan kerja di Indonesia. Arah dari pemerintah ketika itu ialah
pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner
dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi
indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan
budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi orientedprofit sehingga birokrasi
menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang takbermateri. Lambat laun
hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu
arahnya. Birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi
perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan
belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi
warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling
bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang
ini. Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi
era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma
birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah
sebaliknya, public secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa
dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah
taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di
dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan
membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan
kualitas pelayanan yang prima bagi mereka. Budaya birokrasi yang ingin dilayani
secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan
birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap
administarsi negara dewasa ini dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah
seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah
pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah
berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara
garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis
tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya
“Reformation birokrasi inglobalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar
bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa
systemlah yang akan meregulasi paraaparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia
kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi
kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruanglingkup system ia
menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu
birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat
hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah
berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan
system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang
termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya
birokrasi di Indonesia. Padadasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa
terbesar bagi sakitnya birokrasi kitaialah pada systemnya. Menurut ia “When the
processing of politic is finish, thebirokration is begin”, artinya birokrasi
itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itutelah selesai birokrasi
berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politiknamun bukan
bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan
administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan
ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil)
politik. Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan
kuka-luka yangcukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia
kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat
bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan
masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur
birokratnya menjadi kehilangankenetralitasannya padahal dalam aspek tata
perilaku seorang birokrat ialah ia harusnetral atau sebagai stabilisator
konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika adamutasi besar-besaran
terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job"
yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakindekatnya
ajang pilkada di tahun 2006 ketika itu. Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik
sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang
baik itu itu diawali dengan pra kondisikestabilan politik. Tanpa sebuah
kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang
handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi
belaka yang tak akan pernah usai.
Politik dan administrasi adalah dua
rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negaraada
untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah
seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis
demarkasi yang jelasantar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah
positif bukan malah bersifatkorosif. Jadi, Politik merupakan dimensi penting
dalam administrasi Negara. Politik dan Administrasi Negara seumpama dua
sisi dari keping mata uang. Politik perumus strategi negara dan administrasi
negara implementor strategi tersebut. Politik tanpa administrasi Negara hanya
sekedar jargon dan janji- janji, sebaliknya administrasi Negara tanpa
politik seperti mobil yang berjalan tanpa arah tujuan. Karena itu, perlu
dipahami apa pengertian dan fungsi politik dan administrasi negara, serta
perdebatan seputar hubungan administrasi negara dengan politik yang telah
menjadi isu klasik dalam ilmu administrasi negara. Pengaruh politik terhadap
administrasi negara telah berjalan cukup lama sejak orde lama hingga orde
reformasi sekarang ini sehingga menimbulkan terjadinya dikotomi
politik-administrasi negara, hal ini menunjukan tingkat spesialisasi dan
profesionalisasi para penyelenggaran negara tidak berpihak kepada kepentingan
publik, yang seharusnya menjadi tujuan pokok dalam setiap penyelenggaraan
sistem administrasi negara dan sistem politik dinegara kita.
ngak jelas dan terinci, mesti gunakan powerpoint
BalasHapusga jelas ,, kok kasih materi ga pake powerpoint aja..
BalasHapus