BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sesungguhnya, sudah lama
orang-orang pendatang hadir di Bali, baik untuk tujuan menetap atau sekadar
datang untuk sementara (musiman) karena melakukan suatu perjalanan. Sejarah
mencatat, rombongan Maharsi Markandya telah datang ke Bali sekitar abad ke-9
untuk membuka hutan dan membangun desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat
kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang kemudian
dilokalisasi dikawasan tertentu, salah satunya dapat dilihat di Desa Pakraman
Penatih. Sejarah kepariwisataan Bali
juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama yang datang ke Bali untuk
berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman (1597), van Kol (1902),
sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing setelah beroperasinya
kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda Koninklijk Paketvart
Maatschapij tahun 1920. Fakta-fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa
persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru.
Pada masa lalu, kehadiran
pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum menjadi suatu masalah. Tetapi,
belakangan ini serbuan penduduk pendatang dengan beragam latar belakang, etnis,
profesi, dan tujuan, telah menjadi permasalahan tersendiri yang cukup kompleks
bagi Bali, terutama di daerah perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan
dengan dampak ikutannya seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat,
pengangguran, kriminalitas prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya telah
mengganggu kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak
bisa berbuat banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah
telah dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang cukup
tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan, tetapi
persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi demikian,
orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan penduduk
pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap sebagai ”dokter
segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam persoalan yang terjadi
diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak setuju dengan anggapan
tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian khusus mengenai bagaimana
desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang. Kajian ini penting, sebab
sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis oleh wilayah-wilayah desa pakraman
–kecuali pada kantung-kantung pemukiman non-Hindu” maka hampir 99% penduduk
pendatang yang datang kewilayah Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah
wilayah-wilayah desa pakraman. Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan
untuk mengatur persoalan ini untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri,
yaitu kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
1.2
Rumusan
Masalah
·
Bagaimana bentuk awig – awig Desa Pakraman
?
·
Bagaimana Implementasi awig – awig Desa
Pakraman ?
·
Bagaimana kendala – kendala Desa Pakraman
dalam mengatasi Krama Tamiu ?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk memenuhi syarat dalam
mata kuliah Antropologi dan mengetahui implementasi awig-awig Desa Pakraman
dalam mengatur karma tamiu.
1.4
Manfaat
Penelitian
Manfaat
Penelitian ini untuk mengetahui keadaan , alasan maupun konsekuensi terhadap
penduduk pendatang atau karma tamiu di Desa Pakraman Penatih. Keadaan tersebut
dapat diketahui melalui wawancara maupun
berdasarkan observasi. Sebab penelitian berperan penting untuk memberikan
fondasi atas tindak dan juga keputusan dalam semua aspek.
BAB
II
2.1 Kajian Pustaka
Sejalan dengan rumusan masalah,
penelitian ini dimaksudkan untuk memberitahukan bentuk awig-awig, implementasi
awig-awig dan kendala atau hambatan Desa Pakraman dalam mengatur Krama Tamiu.
Kehidupan bermasyarakat di Bali yang dikenal dalam wadah desa pakraman telah
lama eksis karena keterikatan yang kuat antar individu masyarakatnya.
Keterikatan tersebut ada berdasarkan keyakinan yang telah tumbuh diantara
seluruh warganya untuk saling menghargai satu sama lainnya. Niai dan norma yang
ada dan dipegang teguh meski tidak semuanya sifatnya tertulis, tetapi ditaati
oleh kesatuan masyarakatnya. Dalam wadah desa pakraman dijalankan fungsi sosial
relegius sangat terikat dengan nilai adat dan kebiasaan yang berlaku di desa
pakraman tersebut. Nilai-nilai dan kebiasaan tersebut dituang dan dinormakan
dalam bentuk awig-awig desa pakraman serta mengikat bagi seluruh krama (warga)
desa pakraman. Desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Awig-awig merupakan tata hidup bermasyarakat
yang mana ditandai dengan beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan pola
tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan
kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap kelompok dimana individu yang
bersangkutan menjadi anggotanya. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia
senantiasa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga
diperlukan adanya norma-norma dan aturanaturan yang menentukan tindakan mana
yang boleh dan tindakan mana yang tidak boleh dilakukan.
2.2 Diskripsi
Konsep
2.2.1 Implementasi
Implementasi
dimaksudkan membawa ke suatu hasil (akibat) melengakapi dan menyelesaikan.
Implementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan
sesuatu, memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesuatu. Pressman dan
Wildavsky mengemukakan bahwa : “implimentation as to carry out, accomplish,
fullfil, produce, complete” maksudnya: membawa, menyelesaikan,
mengisi, menghasilkan, melengkapi. Jadi Implementasi dapat dimaksudkan sebagai
suatu aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan
penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Apabila
dikaitkan dengan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi skebijakan
publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan
kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana
(alat) untuk mencapai tujuan kebijakan. Pengertian implementasi dikemukakan
oleh Solichin Abdul Wahab dalam bukunya Analisis
Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara yaitu: “Implementasi adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat-pejabat
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” Implementasi
merupakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan. Tindakan tersebut dilakukan baik oleh individu, pejabat
pemerintah ataupun swasta.Dan mengistilahkannya implementasi secara lebih
khusus, menyebutnya dengan istilah implementasi kebijakan dalam bukunya yang
berjudul Analisis Kebijakan Publik.
Menurutnya implementasi kebijakan (Policy
Implementation) adalah
pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu.
Implementasi
merupakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan. Tindakan tersebut dilakukan baik oleh individu, pejabat
pemerintah ataupun swasta. Dunn mengistilahkannya implementasi secara lebih
khusus, menyebutnya dengan istilah implementasi kebijakan dalam bukunya yang
berjudul Analisis Kebijakan Publik.
Menurutnya implementasi kebijakan (Policy
Implementation) adalah
pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu
tertentu.Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu
program, Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengutip
pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinelli mengemukakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program
pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor- faktor tersebut diantaranya:
1. Kondisi
lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi
implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosio
kultural serta keterlibatan penerima program.
2. Hubungan
antar organisasi
Dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu
diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu
program.
3. Sumberdaya organisasi untuk implementasi
program
Implementasi kebijakan perlu didukung
sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya
non-manusia (non human resources).
4. Karakteristik
dan kemampuan agen pelaksana
Yang dimaksud karakteristik dan
kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
Berdasarkan
pendapat dari G. Shabbir Cheema dan Dennis A.Rondinel tersebut terdapat faktor
yang menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan yang diterapkan.
Apabila kita ingin mengetahui kebijakan yang diterapkan, kegagalan atau
keberhasilannya bisa diukur oleh faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kebijakan. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kebijakan dapat melakukan upaya
untuk mendorong Pemerintahan Daerah dalam program-program pembangunan dan
pelayanan yang sejalan dengan kebijaksanaan nasional.
Khususnya
untuk membantu pembiayaannya, Pemerintah Pusat bisa memberi bantuan berbentuk
subsidi yaitu transfer dana dari anggaran dan pembukuan pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Alokasi oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah
mengandung tujuan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bentuk dan lingkupannya.
Pengertian subsidi dikemukakan oleh Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yang
dimaksud subsidi adalah semua bantuan financial pemerintah kepada individu,
perusahaan, dan organisasi. Maksud dari subsidi adalah untuk memberikan bantuan
pembiayaan terhadap berbagai aktivitas.
2.2.2
Awig-Awig
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu
organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat
oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota
organisasi yang bersangkutan. Atau patokan-patokan tingkah laku yang dibuat
oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan
yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi
tradisional yang berwernang membuat awig-awig adalah desa pakraman. Disamping
desa pakraman, masih banyak lagim organisasi tradisional Bali lain yang juga
mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi petani lahan sawah), subak abian
(organisasi petani lahan tanah kering), dan kelompok-kelompok sosial lain yang
tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa teruna (organisasi pemuda), sekaa
dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur).
Tri Hita Karana sebagai Landasan
Filosofi Awig-awig. Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa
awig-awig adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan kesatuan
masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana ini
bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta), dan
manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan
bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia
didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan hubungan antara
unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara
manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri
hita karana tiada lain adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai
keseimbangan, nilai Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai
konsespi ini. Nilai Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang
antara manusia dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan
nilai kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak
dapat dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu,
yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan
berada dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya suasana
yang harmonis dalam masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan manusia dengan
Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya dan lingkunagan
alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan
bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir yang merupakan
repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum, suasana harmonis
dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai suasana yang tertib,
adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
2.2.3 Desa
Pakraman
Desa pakraman adalah suatu kesatuan
masyarakat hukum adat yang ada di Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003 dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang
menyatakan sebagai berikut: ”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum
adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
kahyangan tiga atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” Sebagai
masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 keberadaan
desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh Negara.
Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat awig-awig, disamping
menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran
adat. Semua itu merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan
demikian, landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat
awig-awig dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam
tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman dalam membuat
awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan jelas diakui
adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa pakraman…berhak
mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5 dengan tegas
dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig…”.
Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai “aturan yang
dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman yang dipakai
sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara
dan dharma agama di desa pakraman / banjar pakraman masingmasing”. Dari
pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada awig-awig yang
seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat oleh desa pakraman
disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang mungkin saja
bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
2.2.4 Krama
Tamiu
Desa pakraman mempunyai kewenangan
mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia) yang ada di dalam
wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya mengatur masalah
kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman dapat meliputi
penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai istilah penduduk
pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada keseragaman difinisi.
Dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari
2002, disebutkan bahwa “penduduk pendatang adalah penduduk yang datang akibat
mutasi kepindahan dari luar Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan”, sedangkan dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal
14 Nopember 2002 lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar
Kabupaten/Kota atau Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir
ini, penduduk pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.
pendatang menetap, yaitu pendatang
dengan lama tinggal minimal tiga tahun;
2.
pendatang tinggal sementara, yaitu
pendatang dengan lama tinggal paling lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan
bersama dengan Bupati dan Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib
administrasi kependudukan di masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi
Bali Dalam naskah Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota
se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10
Februari 2003 ini, pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak
termasuk mutasi antar Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat
Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama
dinyatakan bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar
Propinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”. Dalam bahasa Bali,
setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa disebut dengan istilah tamiu.
Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali mengadakan pesamuan (rapat)
yang menghasilkan suatu keputusan mengenai penggolongan penduduk yang ada
diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman
Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil
Pesamuan Agung Pertama MDP Bali tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa
penduduk Bali dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama
Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu
(penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota
desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa
pakraman. Dalam beberapa awigawig desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya
konsep yang dianut sampai saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman
hanya dalam dua golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan
tamiu yang beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada
perbedaan hak dan kewajibannya saja.
2.3
Landasan Teori
Desa
Pakraman menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatn dan
sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di
wilayah Kecamatan. Kewenangan desa pakraman mengatur
masalah penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Desa Pakraman senantiasa mandiri
sebagai wujud dari otonomi, karena tidak ada intervensi dari manapun yang dapat
dibenarkan dalam rangka mewujudkan kesejahtraan warganya. Dalam perkembangan
lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial
kemasyarakatan. Desa Pakraman memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya
disebut Prajuru dan dibeberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau
paduluan dan berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya
secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia
(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).
Demikian
pula bila kita mengkaji ajaran agama tentang upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup serta membina hubungan harmonis
antara manusia yang kemudian kita kenal dengan Tri Hita Karana, maka jelaslah
Desa Pakraman tidak saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup
atas kepentingan bersama dalam masyarakat, tetapi juga merupakan persekutuan
dalam kesamaan agama dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa. Perpaduan ketiga
unsur-unsur Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama
dalam suatu desa melalui awig-awig sebagai anggota Desa atau Krama Tamiu dan
membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama
yakni wilayah Desa Pakraman yakni dengan pemeliharaan bersama desa , fasilitas
desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan
rutin. Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang
harmonis antara sesama warga Desa Pakraman untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup merupakan landasan bagi Desa Pakraman, terhadap adanya
kesatuan pandangan dalam kehidupan
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud
dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian
yang beroriantasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya
demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan
serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.
Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study. Sehubungan
dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka peneliti mempunyai rencana
kerja atau pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, di mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi,
konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah.
Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan atau proses penyaringan data
atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai masalah dalam kondisi, aspek
atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya. Jadi yang dimaksud dengan
pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang,
perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan kebenaran yang dapat diterima
oleh akal sehat manusia. Digunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif
ini berdasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu : Menyesuaikan metode kualitatif
lebih muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Metode ini secara
langsung menghubungan antara peneliti dengan responden. Metode ini lebih pada
menyesuaikan diri dengan penajaman bersama terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi. Pendekatan Kualitatif
Metode
penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru karena popularitasnya belum
lama, metode ini dinamakan postpositivistik Karena berlandaskan pada filsafat
post positifisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistic, Karena
proses penelitian lebih bersifat seni(kurang terpola),dan disebut metode
interpretive karena data hasil peneletian lebih berkenaan dengan interprestasi
terhadap data yang di temukan di lapangan.metode penelitian kuantitatif dapat
di artikan sebagai metode penelitian yang di gunakan untuk meneliti pada
populasi atau sampel tertentu,pengumpulan data menggunakan instrument
penelitian,analisis data bersifat kuantitatif/statistic,dengan tujuan untuk
menguji hipotesis yang teleh di tetapkan. Metode penelitian kualitatif sering
di sebut metode penelitian naturalistik karena penelitianya di lakukan pada
kondisi yang alamiah(natural setting);di sebut juga metode etnographi,karena
pada awalnya metode ini lebih banyak di gunakan untuk penelitian bidang
antropologi budaya;disebut metode kualitatif,karena data yang terkumpul dan
analisisnya lebih bersifat kualitatif.
3.2 Data dan Sumber
Data
Dalam penelitian, sumber data merupakan
faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana
cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan. Jenis
sumber data adalah mengenai dari mana data diperoleh. Apakah data diperoleh
dari sumber tidak langsung (data sekunder) atau data diperoleh dari sumber
langsung (data primer). Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan
dan yang tidak dipublikasikan. Kita perlu memilih metode pencarian data
sekunder apakah itu akan dilakukan secara manual atau dilakukan secara online.
Jika dilakukan secara manual, maka kita harus menentukan strategi pencarian
dengan cara menspesifikasi lokasi data yang potensial, yaitu: lokasi internal
dan / atau lokasi eksternal. Jika pencarian dilakukan secara online, maka kita
perlu menentukan tipe strategi pencarian; kemudian kita memilih layanan-layanan
penyedia informasi ataupun database yang cocok dengan masalah yang akan kita
teliti. Setelah metode pencarian data sekunder kita tentukan, langkah
berikutnya ialah melakukan penyaringan dan pengumpulan data. Penyaringan
dilakukan agar kita hanya mendapatkan data sekunder yang sesuai saja, sedang
yang tidak sesuai dapat kita abaikan. Setelah proses penyaringan selesai, maka
pengumpulan data dapat dilaksanakan. Data yang telah terkumpul perlu kita
evaluasi terlebih dahulu, khususnya berkaitan dengan kualitas dan
kecukupan data. Jika peneliti merasa bahwa kualitas data sudah dirasakan baik
dan jumlah data sudah cukup, maka data tersebut dapat kita gunakan untuk
menjawab masalah yang akan kita teliti. Tahap terakhir strategi pencarian data
ialah menggunakan data tersebut untuk menjawab masalah yang kita teliti. Jika
data dapat digunakan untuk menjawab masalah yang sudah dirumuskan, maka
tindakan selanjutnya ialah menyelesaikan penelitian tersebut. Jika data tidak
dapat digunakan untuk menjawab masalah, maka pencarian data sekunder harus
dilakukan lagi dengan strategi yang sama.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.3.1
Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data
melalui pengamatan langsung atau
peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam
hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain penelitiannya perlu
mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung berbagai hal atau
kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan
observasi dan kembali kepada observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu
pengetahuan tersebut. Penggunaan teknik observasi langsung memungkinkan bagi
peneliti untuk mengumpulkan data mengenai perilaku dan kejadian secara detail.
Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan sosial yang sukar
untuk diketahui dengan metode lainnya. Observasi dilakukan untuk menjajaki
sehingga berfungsi eksploitasi. Dari hasil observasi kita akan memperoleh
gambaran yang jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjuk-petunjuk tentang
cara pemecahannya. Jadi, jelas bahwa tujuan observasi adalah untuk memperoleh
berbagai data konkret secara langsung di lapangan atau tempat penelitian.
Sedangkan manfaat dari observasi itu adalah peneliti akan mampu memahami
konteks data secara menyeluruh, memperoleh pengalaman langsung, dapat melihat
hal-hal yang kurang diamati oleh orang lain, dapat menemukan hal-hal yang tidak
terungkap saat wawancara, dapat mengungkapkan hal-hal yang ada di luar persepsi
responden, dan juga dapat memperoleh kesan-kesan pribadi terhadap obyek yang
diteliti.
3.3.2 Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan
data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara
pengumpul data maupun peneliti terhadap nara sumber atau sumber data.Teknik
wawancara ini banyak digunakan dalam penelitian pendidikan karena mempunyai
beberapa keunggulan yang mungkin tidak dimiliki oleh instrumen penelitian
lainnya. Beberapa keunggulan itu termasuk:
1.
Penelitian memperoleh rerata jawaban yang relatif
tinggi dari responden.
2.
Peneliti dapat membantu menjelaskan lebih, jika
ternyata responden mengalami kesulitan menjawab yang diakibatkan ketidakjelasan
pertanyaan.
3.
Peneliti dapat mengontrol jawaban responden secara
lebih teliti dengan mengamati reaksi atau tingkah laku yang diakibatkan oleh
pertanyaan dalam proses wawancara.
4.
Peneliti dapat memperoleh informasi yang tidak dapat
diungkapkan dengan cara kuesioner ataupun observasi. Informasi tersebut
misalnya, jawaban yang sifatnya pribadi dan bukan pendapat kelompok, atau
informasi alternatif (grapevine) dari suatu kejadian penting.
Pedoman Wawancara, dilihat dari aspek pedoman (guide)
wawancara dalam proses pengambilan data, wawancara dapat dibedakan menjadi tiga
macam jenis yaitu terstruktur, bebas, dan kombinasi.Wawancara terstruktur yaitu
wawancara di mana peneliti ketika melaksanakan tatap muka dengan responden
menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan lebih dahulu. Penggunaan
pedoman secara terstruktur ini penting bagi peneliti agar mereka dapat
menekankan pada hasil informasi yang telah direncanakan dalam wawancara. Wawancara
bebas atau sering pula disebut tak berstruktur, yaitu wawancara di mana
peneliti dalam menyampaikan pertanyaan pada responden tidak menggunakan
pedoman. Cara ini pada umumnya akan lebih efektif dalam memperoleh informasi
yang diinginkan. Dengan wawancara bebas ini, peneliti dapat memodifikasi
jalannya wawancara menjadi lebih santai, tidak menakutkan, dan membuat
responden ramah dalam memberikan informasi. Dikatakan sebagai wawancara
kombinasi di antara kedua jenis di atas, jika peneliti menggabungkan kedua cara
di atas dengan tujuan memperoleh informasi yang semaksimal mungkin dari
responden.
3.3.3 Dokumentasi
Pada
teknik ini, peneliti dimungkinkan memperoleh informasi dari bermacam-macam
sumber tertulis atau dokumen yang ada pada responden atau tempat, di mana
responden bertempat tinggal atau melakukan kegiatan sehari-harinya. Sumber
dokumen yang ada pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
dokumentasi resmi, termasuk surat keputusan, surat instruksi, dan surat bukti
kegiatan yang dikeluarkan oleh kantor atau organisasi yang bersangkutan dan
sumber dokumentasi tidak resmi yang mungkin berupa surat nota, surat pribadi
yang memberikan informasi kuat terhadap suatu kejadian. Di samping itu dalam
penelitian pendidikan, dokumentasi yang ada juga dapat dibedakan menjadi
dokumen primer, sekunder, dan tersier yang mempunyai nilai keaslian atau
autentisitas berbeda-beda. Dokumen primer biasanya mempunyai nilai dan bobot
lebih jika dibanding dokumen sekunder. Sebaliknya dokumen sekunder juga
mempunyai nilai dan bobot lebih jika dibandingkan dengan dokumen tersier, dan
seterusnya. Seorang peneliti sebaiknya memanfaatkan kedua sumber dokumentasi
tersebut secara intensif, agar mereka dapat memperoleh informasi secara maksimal,
yang dapat menggambarkan kondisi subjek atau objek bentuk, implementasi
awig-awig dan kendala-kendala dalam mengatur karma tamiu yang diteliti dengan benar.
3.4
Analisis Data
Analisis
data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakuakan sintesa dipelajari dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan
tertentu atau menjadi hipotesis. Hipotesis dalam penelitian ini, adalah Desa
Pakraman Penatih mempunyai bentuk awig-awig tertulis yang mewajibkan anggota
Desa Krama dan Krama Tamiu setiap bulannya membayar sangkepan. Berdasarkan
hipotesis yang telah peneliti buat, bahwa hipotesis ini dapat diterima
berdasarkan data dan fakta yang telah terkumpul. Bahwa didalam suatu awig-awig
Desa Pakraman Penatih mempunyai suatu aturan kepada masyarakat desa maupun
karma tamiu untuk dapat membayar sangkepan dalam menjaga dan mengamankan
lingkungan di Desa Pakraman.
3.5 Penyajian Hasil Analisis
Desa
Pakraman di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata
dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses mengatur karma
tamiu. Sebagai organisasi pemerintahan, desa pakraman merupakan desa otonom
asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri dengan segala bentuk awig-awig
yang telah dibuat dalam keputusan bersama masyarakat desa dan diberlakukan di
dalam palemahan (wilayah)nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam
Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi
dan dilestarikan. Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang
bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama
lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga
masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan
ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih
menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha
menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas
kepatutan melalui lembaga sangkepan yang telah menjadi salah satu dari aturan
atau awig-awig di Desa Pakraman. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah
mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat
ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).
BAB
IV
BENTUK
AWIG-AWIG
DALAM
MENGATUR KRAMA TAMIU
Semua
desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig walaupun bentuknya
mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat adat di Bali
tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig ditetapkan secara lisan
melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama
kelamaan, ketika prajuru adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang
ditetapkan secara lisan dalam rapat desa itu kemudian dicatat sehingga gampang
diingat. Belakangan, terutama sejak 1969, ada kecendrungan desa pakraman
membuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan
yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan awig-awig diangap penting oleh pemerintah
sehingga sekarang ini proyek pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk
mmbuat awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar
pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang
terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat
pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan
penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid) dapat lebih
dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama desa), pasti bagi
prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan awig-awig
penting untuk dilakukan dalam rangka penemuan hukum (rechtsvinding), yaitu
untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum adat.
Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat akan mudah ditemukan terutama oleh
kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang
sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan
nilai-nilai budaya. Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa
pakraman – terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan
awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu
dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig
yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang
ditulis dalam kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang
umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui
pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut
telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada,
sistematika awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh.
Batang tubuh awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi
dalam Palet (bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan
lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta,
seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali,
yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu
ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan,
sistematika awig-awig desa pakraman menyerupai sistematika UUD 1945. Awig-awig
tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan pokok) mengenai
kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih
rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, awig-awig
meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya.
Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan paruman
yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat
digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem penyahcah awig, yaitu
keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig;
kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan
aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig tetapi dibuat
untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan ketiga: pararem penepas wicara,
yang berupa keputusan paruman mengenai suatu persoalan hukum (perkara)
tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas
wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain
dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas,
yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan (hubungan kerama
desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan kerama desa
dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan
atau palemahan (hubungan kerama desa dengan wilayahnya). Di luar tiga
aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme
penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di
atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian masalah ini dimuat dalam bab
tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda (Masalah dan Sanksi).
BAB
V
IMPLEMENTASI
DALAM
MENGATUR KRAMA TAMIU
Pengaturan
mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masing-masing Awig-awig Desa
Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini dimungkinkan karena
setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-awig atau paparem)
sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Konsep ini lazim disebut
konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi tersebut, secara umum
ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap awig-awig, yaitu
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai penduduk yang tinggal
menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa pakraman. Hak tamiu
yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada umumnya adalah berupa
pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban sakala, pasayuban kapancabayan),
seperti pertolongan bila terjadi musibah, seperti hanyut karena banjir,
kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain. Sebagai kompensasi atas
haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban tertentu yang bentuknya
beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan sukarela (dana punia), dan
sebagainya.
Dalam
implementasinya awig-awig sangat penting bagi Krama Tamiu di Desa Pekraman
yaitu, dengan adanya penanganan penduduk pendatang mulai dari proses
pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu apabila
melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar awig-awig
(mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa pakraman (pengurus
desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa pakraman. Struktur
prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman satu dengan lainnya,
tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu oleh pejabat-pejabat
yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan), bendahara (patengen),
petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan petugas keamanan
(pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa pakraman) prajuru desa
dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta pembantu-pembantunya. Prajuru
desa pakraman inilah yang bertanggung jawab terhadap keberadaan penduduk
pendatang yang tinggal menetap atau tinggal sementara diwilayahnya, sebagai
wujud tanggung jawabnya dalam rangka mewujudkan kasukertan desa sekala niskala
(ketertiban dan kemanaan desa lahir dan bathin)
BAB
VI
KENDALA-KENDALA
AWIG-WIG DESA PAKRAMAN
DALAM
MENGATUR KRAMA TAMIU
Di Bali, proses globalisasi telah
dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal tersebut.
salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah ini
adalah karena perkembangan pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.
Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain
dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat
juga dilihat dari banyaknya penduduk pendatang atau Krama Tamiu dari berbagai
daerah yang mempunyai kepentingan masing-masing di Bali dan hubungan sosial
baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan dunia modern. Krama Tamiu yang menetap atau
pun hanya sekedar ingin berlibur di Bali umumnya menganut nilai dan norma serta
kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat
tradisional di Desa Pakraman. Krama tamiu tersebut. juga mempunyai kepentingan
yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian,
masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh melainkan
terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang lebih menonjol
dari masyarakat secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam
pergaulan antar sesamapun tampak mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke
nilai individual dan komersial. Situasi demikian memberi peluang untuk
timbulnya persaingan dan konflik. Banyak
hal yang muncul sebagai sumber konflik dewasa ini antara lain: tanah, status
sosial (prestise), jabatan dan peluang kerja.
Proses globalisasi telah membuka
masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan luas pada
pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi
masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan
fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya
perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak. Keefektifan
Awig-awig sebagai alat kontrol social, Sanksi dalam awig-awig
disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan
keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek
hubungan kewilayahan (palemahan), kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan
(parhyangan). Pamidanda ini dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman
masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk
pamidanda (sanksi adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang
berkaitan dengan harta benda (uang atau barang) disebut artha danda; sanksi
yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi
yang berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut
panyangaskara danda. Bentuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas
sangat bervariasi dari yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk
sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa
denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan
yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya
digunakan untuk melunasi kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan
jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh
prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah kasepekang
(dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai kerama desa). Bantuk
sanksi dari golongan panyangaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin
desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme
penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman secara berjenjang
melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru banjar sampai
prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang
ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi
perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga
muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan
sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa terhadap awig-awig
disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara
sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena merupakan kesepakan
bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) desa, pada suatu
forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala,
awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuatan gaib sebab
awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau
pemelaspasan.
BAB
VII
7.1
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk awig-awig di Desa Pakraman berbeda-beda ada yang tertulis dan ada
pula yang tidak. Terlepas dari bentuk awig-awig yang terjadi secara umum dalam awig-awig berlaku asas
keseimbangan antara kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang.
Secara umum dalam awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk
pendatang yang tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia. Sebagai
kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut, penduduk pendatang dikenai
kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan bentuknya bervariasi antara masing-masing
desa pakraman. Variasi demikian dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku
konsep desa mawacara, yang artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan
sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
7.2 Saran
Adapun
hal yang dapat disarankan dari penelitian
ini adalah diupayakan awig-awig di desa pakraman dapat berkelanjutan
mengingat banyak hal yang telah berkembang yang selalu memerlukan penanganan
serius guna dapat merespon perkembangan situasi yang telah berkembang di desa
pakraman.